Sunday, June 6, 2010

Pasca Penyerangan Israel Terhadap Kapal Mavi Marmara

Pasca Penyerangan Israel Terhadap Kapal Mavi Marmara
Ujian Dunia, Ujian AS

Saat kecaman terhadap Israel terus membanjir, pasca penyerangan terhadap Kapal Mavi Marmara, telinga masyarakat dunia sekaligus menanti respons Amerika Serikat. Ini ujian bagi dunia, juga bagi AS, bisakah menyetop brutalitas negara Yahudi itu?

---

DALAM kasus Mavi Marmara, pemerintahan Presiden AS Barack Obama semakin menunjukkan bahwa politik luar negerinya tidak berbeda dengan pendahulunya, George Bush. Paman Sam tak pernah kuasa menahan lobi Yahudi.

Dalam sebuah wawancara dengan CNN, Obama menyatakan bahwa Israel berhak untuk menjaga kepentingannya di Gaza. Meski sebelumnya dia menyebut bahwa insiden di Kapal Mavi Marmara itu "tragis", pernyataan Obama tersebut justru kontraproduktif dengan komitmen pemerintahannya yang akan mengupayakan perdamaian Israel-Palestina. Obama, di depan negara-negara Islam, juga pernah berjanji untuk membantu kepentingan negara-negara muslim.

Memang insiden Mavi Marmara itu menjadi batu ujian untuk mengetahui seberapa besar perubahan kebijakan luar negeri AS pada masa pemerintahan Obama dengan pendahulunya. Dalam kampanyenya, Barack Obama menjanjikan sikap yang lebih terbuka untuk merekonstruksi hubungan diplomatik dengan negara-negara "musuh" AS pada masa pemerintahan sebelumnya.

AS kini menghadapi dilema besar. Sebab, yang dihadapinya dalam menyikapi tragedi kemanusiaan itu adalah dua negara sekutu penting di kawasan Timur Tengah. Yakni, Turki dan Israel. Turki merupakan satu-satunya negara Arab yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel.

Namun, dengan tewasnya sembilan warga Turki dalam penyerangan militer Israel tersebut, hubungan dua negara itu tak lagi harmonis. "Insiden ini akan meninggalkan luka yang dalam (bagi Turki) dan merusak hubungan (diplomatik) yang tidak bisa diperbaiki lagi," tegas Presiden Turki Abdullah Gul di depan wartawan di Ankara pada Jumat (4/6), seperti dilansir BBC.

Wakil Perdana Menteri Turki Bulent Arinc menyebut tindakan Israel tersebut sebagai "pembajakan" dan "barbarisme". Bahkan, sebelumnya Perdana Menteri Turki Recep Tayip Erdogan meminta Israel meminta maaf atas kejadian itu. "Jika tidak, Israel akan kehilangan satu-satunya teman di Timur Tengah," tegasnya.

Melihat kondisi itu, seharusnya Amerika khawatir. Sebab, Turki berharap pemerintahan Obama juga bersikap tegas terhadap Israel. Turki sebenarnya mempunyai posisi tawar yang cukup besar di depan AS. Sebab, di wilayahnya, AS menempatkan pangkalan militernya. Basis militer tersebut sangat strategis untuk mendukung kepentingan AS di Timur Tengah.

Namun, AS selalu memilih berteman dengan Israel. Wakil Presiden AS Joe Biden menegaskan, dunia internasional tidak bisa secara serta-merta menyalahkan Israel dalam kasus Mavi Marmara. "Tidak ada yang tahu apa yang berada di dalam kapal itu. Bagaimana jika isinya bom yang akan ditembakkan ke rakyat Israel,'' ujarnya.

Sebelumnya, Joe Biden bersikap keras terhadap Israel saat berkunjung ke Tel Aviv Maret lalu. Biden merasa ditelikung ketika pemerintah Israel mengumumkan rencana perluasan permukiman Yahudi di Jerusalem Timur, tepat saat dirinya berupaya merancang kembali upaya perdamaian Israel-Palestina. Dia menegaskan bahwa rencana itu akan menghambat dialog perdamaian dua negara tersebut.

Namun, sekali lagi AS tak berdaya. Pemerintah Israel menyatakan tidak akan menghentikan rencana perluasan permukiman di Jerusalem Timur dan Washington belum mengambil langkah apa pun.

Saat ini, Dewan Keamanan PBB sedang membentuk tim investigasi independen untuk menyelidiki insiden Mavi Marmara. Dalam beberapa kasus sebelumnya, Israel tidak pernah menerima tim investigasi apa pun yang dibentuk oleh badan internasional, termasuk Badan Atom Internasional, IAEA.

Setiap kali penolakan terjadi dan DK PBB melakukan voting untuk menjatuhkan sanksi kepada Israel, Amerika selalu hadir di depan dengan menggunakan hak vetonya. Namun, kali ini tekanan internasional sangat kuat untuk mengisolasi Israel.

Hal itu juga diakui mantan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert. Dia mengatakan bahwa kerugian besar akan dialami Israel jika hubungan diplomatik dengan Turki terputus akibat insiden Mavi Marmara tersebut. Dalam wawancara dengan Radio Angkatan Darat Israel, Olmert menekankan agar pemerintah berupaya keras memperbaiki hubungan dengan komunitas internasional. Turki juga disebutnya sebagai sekutu strategis untuk menjaga kepentingan Israel di Timur Tengah.

Dia mengatakan bahwa penyerangan terhadap Freedom Flotilla menuai kecaman dan kemarahan dunia. Jika tidak segera diredam, lanjut dia, kemarahan tersebut bisa menggiring masyarakat dunia untuk mengisolasi negeri Yahudi itu. "Kami harus berupaya keras untuk mengembalikan situasi Israel sebagai sahabat dunia," kata Olmert. Apakah Amerika juga akan ikut serta dalam gerakan isolasi terhadap Israel?

No comments:

Post a Comment